Cerpen
R E D E N
Oleh : Hayu Putri
Kinurung
Hari ini cukup
melelahkan, di saat aku berhasil menemukan kunci jawaban untuk soal fisika
edisi efek doppler yang selalu saja membuatku gila. Dengan terus berkutat dalam rumus-rumus fisika
membuat kepalaku cukup pening. Kadang kala aku berfikir, pentingkah ilmu itu
nanti dalam kehidupan nyataku kelak terus menemani setiap langkah. Sesekali
dalam perjalanan pulang ke rumah, ku lewatkan mampir kewarung pinggir jalan
untuk sekedar melepas lelah atau membeli minuman. Teriknya matahari membakar
seluruh cairan tubuh yang sejak pagi bekerja tanpa henti.
Lambat laun
berjalan yang seolah tiada putusnya membuat langkah kaki sedikit ngaco.
Bukan arah rumah yang dituju malah kearah sebuah apartemen sederhana di sudut
kota ini. Enam tahun di Jakarta belum pernah rasanya aku menemukan apartemen
ini sebelumnya. Mungkin aku saja yang terlalu rumahan, sehingga tak tahu
tempat-tempat disini.
Entah mengapa rasa
tertarik dengan tampilan apartemen ini muncul. Gaya arsitek yang sederhana,
namun terkesan modern khas Eropa menambah nilai estetika bangunan ini.
Perhatianku tertuju pada spanduk kecil yang terpajang di pintu masuk apartemen.
“ Spanduk penawaran apartemen. Berarti benar apartemen ini baru di bangun.“
“ ZIMMER 483 “
Satu kamar tersisa. Cp: (091)
78473983
Aku mendekat ke
papan iklan tersebut. Rasnya cukup janggal membaca kata-kata itu. Menggunakan
bahasa asing dan tercampur bahasa nasional. Diriku menangkap masih ada satu kamar lagi yang tersisa di
kamar nomor 483. Merasa semakin tertarik kuberanikan memasuki apartemen itu,
pintunya terbuka meja resepsionis itupun kosong.
“ Halo. Apa ada orang disini?
“ Permisi. . . . “ sepertinya
bangunan ini kosong, sangat sepi. “ Ada saja orang yang tega membiarkan
apartemen kosong dengan pintu terbuka seperti ini “. Kata-kata yang menggerutu dalam hati. “ Pasti pemiliknya
ceroboh. “
Untuk memastikan
lagi kuketuk dan mengucap salam sekali lagi.
“ Halo, siapa pemilik apartemen ini?
Aku datang untuk melihat-lihat tawaran Anda? Bolehkah? “ tetap tak ada jawaban
ataupun tanda-tanda keluarnya manusia. Cukup berat mempertimbangkan apakah
harus masuk kedalam melihat-lihat, pergi saja dari sini dan kembali di lain
waktu atau menunggu sampai ada orang datang dan memberi izin. Lama menatap meja
resepsionis ini sambil berpikir. Kurang lebih lima belas menit berlalu
kuputuskan untuk masuk melihat kamar-kamar apartemen. Zimmer1 483.
Bangunan ini
terdiri dari dua lantai. Lantai lobi dan lantai atas berisi kamar-kamar. Sepertinya
jumlah kamar disini tidak mencapai ratusan. Mengapa ada yang di iklan tadi 483.
Mulai kuterlusuri satu persatu jalan di setiap lorongnya. Jeda disetiap kamar cukup
sempit bahkan hampir tidak ada. Ternyata nomor memang diawali dari satu namun
setelah itu bukan dua, melainkan loncat, sehingga didapatkan nomor 1, 69, 138,
207, 276, 345, 414 dan diakhiri 483. Konsep yang cukup unik dalam sejarah penomoran
tempat tinggal. Otak ini agak sulit meenangkap apa maksud dari peloncatan yang
setelah dihitung ditambah 68 diawal dan 69 sampai terakhir.
Kakiku berhenti di
tepat di kamar terakhir paling pojok sendiri. “ ZIMMER 483 “ sering ku ulangi sebutan itu. Rasanya unik. Suasana
atmosfer di sini lain dari yang lain. Perlahan coba ku pegang daun pintunya.
Ragu-ragu saat ingin memutar engselnya. Kulepaskan, pegang, lepaskan lagi, dan
akhirnya pegang dan kreeek… pintu terbuka.
“ Ah gelap sekali ruangan ini. Aku
jadi merinding. “ tak kusangka sebelumnya ruangan ini gelap. Bulu kudukku
merinding seketika. Bukannya mundur seperti kata logikaku, aku bahkan semakin
penasaran lagi. Coba kuraba dinding tembok mencari stopkontak untuk menyalakan
lampu.
Kliik … lampu menyala, ruanganpun terang.
Terkejut ku lihat sepasang mata bundar dalam
posisi duduk memegang sebuah gitar. Menurutku itu adalah gitar bass, yah aku
berpengetahuan tetang alat musik karena terlalu lama bergaul dengan Steine si
drumer populer di sekolah yang sukanya tebar pesona sana-sini. Lelaki itu tak
bereaksi apa-apa melihatku. Aku menjadi semakin merinding. Mengapa dia seolah
menjadi mayat hidup yang siap untuk melahap. Ah, tampaknya dia juga sama
terkejutnya sepertiku. Hanya dia memilih untuk tenang.
“ Halo. Sedang apa kau disitu? “ dia
bersuara cukup berat.
“ Siapa kau? Kau berdiri di pintu
kamar, sedang apa? Hey apa kau mendengarku?” Kata pria itu dengan ekspresi
kaku. Sementara yang ditanya membatu. Apa yang harus aku katakan kepadanya? Apa
harus berterus terang kepadanya? Ini membingungkan. “ Disini tidak ada orang
lain selain kau dan aku. Kau orang pertama yang datang. Selamat datang di
zimmer1 483. “ kata pria itu lagi dan sekarang sambil berdiri dan
membuka kedua tangannya mengatakan selamat datang kepadaku.
1.
Zimmer : kamar
“ Apa kau ingin memesan tempat ini?”
aku semakin bingung untuk menjawab. Pertanyaannya membuat otak semakin lelah.
Apa yang harus kulakukan sekarang. Oh Tuhan, mengapa aku menjadi tak berdaya
seperti ini? Pria tinggi ini membuat raga tak berkutik. Dari gayanya sepertinya
dia asli Eropa.
“ Mengapa kau diam? Bicaralah. Ah,
apa kau tidak mengerti bahasa Indonesia? Aku harus bicara dengan bahasa apa
kepaadamu? Inggris, Jepang, Jerman, atau. . . .“ belum sempat dia menyebutkan
kata terakhir aku malah lari meninggalakannya. Akupun tak mengerti mengapa
tiba-tiba aku lari seperti maling yang kabur karena ketahuan.
“ Hey!!! Tunggu.”
Tak memperdulikan
teriakannya, terus saja aku berlari sampai pintu gerbang.
“ duh lelah.
Syukurlah dia tidak mengejar. Hampir saja. “
Pintu gerbang
masih terbuka lebar. Walaupun terengah-engah tak masalah yang terpenting siasat
kabur ini berjalan dengan lancar, dan tak harus menanggapi pertanyaan gila dari
pria tersebut. Ku putuskan berjalan kembali dan kali ini tak usah mampir kesana
kemari lagi aku harus pulang.
Baru sebentar
berjalan, sesosok manusia asing mengagetkanku di tengah jalan. Tak tahu apa
maunya yang jelas orang ini membuatku kembali menahan detak jantung yang terus
membesar. “ sepertinya hari ini sial sekali.” Gumanku dalam hati.
“ Maaf nona
mengagetkanmu.” Suara bernada pelan itu tiba-tiba di samping kananku. Aku pun
memutar badan kearah samping kanan. Melihat siapa yang tadi berbicara denganku.
Dan sekali lagi ini terjadi.
Kembali tak dapat mengontrol
detak jantungku yang kembali mengeras. “ orang ini? Bukankah dia yang…” ya, aku
masih ingat muka orang yang tadi di apartemen. Dia ada disini sekarang. Kenapa
secepat ini dia ada disampingku? Bukankah tadi dia tak mengejar. Kuperhatikan
penampilannya dari ujung topi sampai ujung sepatu, mirip sekali dengan yang
tadi. Pasti satu orang yang sama. Tapi tunggu dulu, bukannya orang yang tadi
memakai kemeja lengan panjang yang lengannya disingsingkan. Dan pria ini
memakai kaos dan celana jeans yang cukup longgar. Penampilannya pun lain dengan
yang tadi. Sepertinya ini orang yang berbeda.
“ Kenapa kau
terlihat ketakutan? Apa aku mengganggumu wahai nona manis? “ katanya sambil
mengggoda. Keterlaluan sekali dia, berani-beraninya ia menggoda sama orang yang
belum ia kenal.
“ Kenapa kau diam
saja? Bicaralah. . .
Hem. Sebaiknya
kita berkenalan dulu, agar lebih akrab. Namaku Grenzen, lengkapnya Keine
Grenzen. Kau siapa?” sambil menjulurkan tangannya ke arahku. Dia memang
sepertinya ingin membunuhku. Mana mungkin seorang ‘aku’ diajak berkenalan di
tengah jalan seperti ini. Seperti biasa aku tak bereaksi apa-apa.
“ Halo nona! Kau
mendengarku? “ dia mulai kebingungan menghadapi diriku. Sungguh tak ada maksud,
tapi apalah daya. Tak dapat melakukan apa-apa kecuali diam.
Tin . . . tin . .
. tin . . .
Suara motor warna
biru produksi Jepang mendekat ke arah kami. Perhatian kami beralih kearah pengendara
itu. Sudah cukup mengenali tipe makhluk ini. Helm silvernya pun ia buka. Benar
saja dugaanku. Dia memang Tausend Steine, sahabatku. Yo, dia memang super hero.
Otomatis perhatian cowok aneh itu telah kelain pihak.
“ Haruna-chan2,
sedang apa disini? Masih pakai seragam lagi. Pasti kau habis main-main ya? Huh
dasar. Ayo pulang kuantar “. Begitulah
Steine, melontarkan pertanyaan panjang lebar namun tak perlu dijawab. Cukup
mendengarkan dan kemudian menuruti apa perintahnya. Tak kuasa menentang
perintah Steine. Biar bagaimana pun aku sangat berterima kasih padanya. Berkatnyalah
aku dapat terbebas dari makhluk aneh itu.
“ Steine, terima
kasih ya. “ kataku padanya ditengah perjalanan kami. Tampaknya dia agak kebingungan
terhadap pernyataan tadi.
“ Terima kasih? Terima
kasih untuk…? “ jawabnya heran.
“ Untuk hari ini. “
jawabku singkat.
Aku memilih untuk
tidak menceritakan apa-apa padanya. Karena memang tak penting juga untuk
diceritakan. Steine orangnya tak mudah penasaran dan sering melupakan suatu
kejadian. Berteman dengannya menyenangkan. Apa yang tadi di ungkapkan mudah
sekali ia lupakan.
Langit kota
Jakarta mulai gelap. Motor Kesayangan Steine melaju lebih cepat lagi. Dia tidak
ingin kita sampai larut malam. Sepanjang perjalanan tampak lampu kerlap-kerlip
jalan menghias sisi gelap kota. Kota malam telah tiba. Para aktivis mulai sibuk
mengemasi ladang mereka dan pulang ke istana masing-masing. Pasti kedua orang
tuaku juga melakukan hal yang sama. Entah untuk keluarganya atau memang itulah
yang terpenting untuk dirinya.
Perlahan tapi
pasti diparkirkannyalah motornya itu di pelataran rumahku. Sepertinya dia
terlihat cukup senang hari ini. Dengan kondisi yang seperti ini, memungkinkan
aku untuk bertanya-tanya terbuka lebar.
“ uum… Steine ,
bolehkah aku bertanya? “ kataku padanya. Steine membisu mendengar ucapanku.
“ Bertanya apa? Bukankah
kau telah bertanya? “ kami berdua tertawa bersama. Benar juga apa yang ia
katakan.
“ Steine, aku
serius. Aku ingin tanya. “ kataku pura-pura mengambek.
“ hanya pecanda
kok. Apaan si? “
“ apa tadi kau
melihat seorang pria di sampingku? “
2.Chan: panggilan kepada
orang dekat yang dikenal cukup lama.
Dia tidak langsung
menjawab otaknya seolah berpikir keras. Sudah ku duga dia sepertinya telah
lupa. Apa memang dia sama sekali tak melihat pria aneh itu. Karena kalau dia
lihat pasti dia akan langsung bertanya padaku. Ini nyatanya dia hanya diam.
“ yang mana ya? Aku
tak pernah melihatmu bersama pria lain kecuali diriku. Hehe. “ Langsung saja ku
tepuk kepalanya dan dia mencoba menghindar. Lagi-lagi jawaban konyol yang ku
dapat. Menjadi tak bersemangat melanjutkan pertanyaan. “ kau selalu seperti itu
Steine, ya sudah sana pulang.”
“ Jangan marah
sayang. Aku hanya pecanda. Ok sampai jumpa besok di sekolah. Jangan lupa tidur.
Mengerti.”
“ iya aku
mengerti. Sana pulang. ” Dia menaiki motornya dan dengan beberapa detik saja
menghilang dari pandangan.
Kembali lagi ke
duniaku. Simpulkannya hari ini adalah hari yang paling menyebalkan sekaligus
membuatku benar-benar mati penasaran. Sepertinya “ZIMMER 483” begitu melekat
dalam ingatanku. Entah apa yang terjadi. Aku semakin dibuntuti rasa ingin tahu,
apalagi setelah bertemu dengan pria aneh itu. Belum pernah aku bertemu dengan
tipe pria yang satu ini. Besok akan ku pikirkan lagi karena sekarang sudah
cukup malam untuk beristirahat.
Sinar matahari
membangunkanku lewat celah-celah jendela yang telah terbuka. Sepertinya Mama
berusaha membangunkanku tetapi aku tidak ingin bangun. Bagaimana bisa, baru
saja mata ini terpejam dua jam yang
lalu. Apartemen dan pria itulah yang membuatku seperti ini. “ Astaga jam enam
seperempat! Aku bisa telat! “, langsung saja kamar mandi menjadi tempat pertama
mengunjungi rumah. Ini harus cepat.
“ Haruna? Kau
mengantuk. Hey ingat ini pelajaran Guru Rack. Dia bisa menggantungmu jikalau
mendapatimu tidur dalam kelasnya. “ Suara Mariam berulangkali menyadarkanku
dari rasa kantuk berkepanjangan ini. Dia ada benarnya, guru Rack memang
terkenal paling dasyat kedisiplinannya. Sekali dia mendapatimu tidur dalam
kelasnya atau kau tak mengerjakan tugas tepat waktu serta bila kau ketahuan
menyontek, jangan harap kau akan selamat darinya. Keliling lapangan utama 10
kali, push up 50 kali, sampai-sampai kau
di strup selama seminggu untuk kelasnya. Banyak yang bilang dia sudah gila. Tapi
mungkin memang ada baiknya, mengingat pentingnya disiplin dalam segala aspek
kehidupan.
“ eh eem . .
. selamat pagi murid-muridku!”
“ selamat pagi
guru.”
“ sedikit
intermezo untuk kalian di pagi ini.” Semua murid terbelaak, tampak
berbisik-bisik apa yang akan di katakan guru fisika itu. Dia jarang sekali
memberikan informasi apapun.
“ Diam!” semua
murid menunduk ketakutan. Teriakan guru Rack memang keterlaluan.
“ Kalian dapat dua
teman baru. Keine, masuk. “
Dari balik pintu
muncul dua orang pemuda. Fisik tinggi yang kurasa hampir dua meter itu cukup
membius anak-anak gadis disini. Kurasa mereka bukan orang Indonesia.
“ Kenalkan diri
kalian. “
“ Halo namaku
Keine Grenzen. “ apa? Sepertinya cukup
kenal nama itu, ah suaranya juga sepertinya.
“ Halo juga namaku
Keine Beschwert.” Perlahan ku mengangkat kepala, turut menyaksikan siapa
mereka. Lagi-lagi kaget menyerang, orang itu, orang itu, mereka kembar. Ternyata
mereka kembar. Berarti aku kemarin bertemu dengan dua orang sekaligus beda
waktu.
“ duduk, kita
lanjutkan pelajaran. “ Kepalaku kembali ku tundukan, malu sekali rasanya bila
harus bertemu si kembar itu kembali. Ingin aku lari dari kelas ini. Sepertinya
dua orang itu mencari tempat duduk.
“ eh, kau ini
apa-apaan? Aku duduk disini.”
“ tidak aku yang
disini.”
“ tapi aku duluan”
“ Aku”
“ jangan
bertengkar. Keine duduk.”
Apa-apaan mereka
berdua, tiba-tiba saja ingin duduk disampingku. Seperti tidak ada tempat duduk
saja.
“ eh nona, aku
Grenzen. Kau mau kan duduk denganku? “
“ tidak. Denganku
saja nona.” Sekali lagi aku tak dapat menjawab pertanyaan mereka. Ku ambil
tasku dan pindah tempat duduk di samping Steine. Mereka membuatku gila.
Pelajaran guru
Rack terasa 2 kali lebih membosankan di banding biasanya. Steine membuat tak
nyaman, karena mungkin terbiasa duduk sendiri. Di tambah dua kembar aneh itu,
yang tiap menitnya seolah di penuhi obrolan yang tidak penting dan beberapa
kali bertengkar. Sepertinya hubungan mereka tidak harmonis. “ ayolah cepat
istirahat dan pulang.” Doaku dalam hati.
Teng . . . teng. .
. teng. . .
Akhirnya bel
istirahat berbunyi, senang sekali rasanya. Waktu melepaskan diri dari kelas
yang menyekat dimulai.
“ Run, ke kantin
yuk! Lapar. “ kata Mariam mengajak ke kantin. Gadis blasteran Arab- Indonesia
ini memang temanku yang terbaik. Sering mengajakku kemana dia pergi, tidak malu
jalan berdua denganku. Beda seperti teman yang lainnya. Hanya dia dan Steine
lah yang paling baik.
“ maaf Mariam, aku
harus ke perpustakaan. Ada buku yang harus ku kembalikan, bila tidak aku dapat
denda. “
“ Sayang sekali,
baiklah. Baik-baik ya.” Searah lambaian tangan Mariam, aku menuju perpustakaan.
Perpus memang tempat yang paling aman untuk sendiri. Setelah mengembalikan
buku, sebaiknya membaca-baca dulu disini. Siapa tahu dapat finalis buku yang
dapat dipinjam.
“ halo nona manis.
“ akhir-akhir ini suara itu tak asing bagiku. Benar saja, pria itu lagi. Dia
selalu bisa membuat jantungku berlari. Untuk apa dia disini, apa mengikutiku. Menyebalkan
sekali anak ini.
“ bolehkah kita
berkenalan, namaku Grenzen. “ dia sudah tiga kali ini memperkenalkan namanya. Apa
yang aku lakukan selalu sama. Diam, diam, dan lari.
“ eh tunggu. Aku
hanya ingin berteman denganmu. “ sial. Tanganku tertangkap olehnya, jadilah aku
tawanannya. “ lepaskan Grenzen.” Kuucapkan dalam hati.
“ kenapa kau diam
saja? Kau takut denganku? Aku tak akan menyakitimu. Tenanglah. “Dengan sekuat
tenaga ku lepaskan cengkraman Grenzen. Kuat sekali ia, aku tak dapat berkutik. Sekuat
tenaga ku lepaskan lewat tenaga dalam sekalipun kabur darinya.
Rasanya hidup ini
menjadi tak tenang. Kemanapun aku pergi pria aneh itu selalu hadir. Dengan gaya
khasnya yang membuatku tak henti-hentinya berdebar. Aku tak dapat berkutik bila
berhadapan dengannya. Mungkinkah ini adalah perasaan yang wajar adanya. Atau
memang ada yang aneh pada diriku. Memang sih kalau di pikir-pikir aku
keterlaluan. Hanya dengan dua pria itu aku sangat ketakuatan. Hal ini bukan
yang pertama terjadi, bila disapa orang yang belum kukenal aku diam dan
menghindar. Tapi tak sampai sebedebar ini.
“ Haruna…” Steine
tiba-tiba muncul di hadapanku.
“ huh, Steine kau
benar-benar mengagetkanku. Aku pikir kau…….” Dengan cepat ku tutup membungkam
mulut sendiri. Tidak untuk menceritakannya pada siapapun termasuk Steine
tentang tadi.
“ apa?” , sial dia
sadar hal itu. “ bukan apa-apa. Baiklah ayo masuk kelas sebentar lagi bel.” Tangan
Steine kupaksa mengikutiku.
Pulang sekolah, temui di Taman Belakang
Liebe Du3
Waktu kembali kekelas, sobekan berisi pesan ini telah ada di mejaku. Dilihat dari bahasa terakhir yang menggunakan bahasa Jerman, penglihatanku terbayang dua sosok bule itu. Apa ini maksudnya? Mengajakku bertemu. Kira-kira ini dari Grenzen atau Beschwert ya? Jadi penasaran.
Gelisah tak tenang
bersemayam selalu. “ayo bel-bel.” Ku pandang jarum jam yang jalannya sangat
pelan. Yak 13:45, pulang!!! Waktunya ini tuk bertemu dengan pengirim itu.
Kebun belakkang
agak sepi. Jarang sekali anak-anak main disitu. Biasanya hanya ramai saat jam
istirahat saja. Setelah pelajaran usai, usai pula keramaiannya.
3. liebe du
: menyukaimu
Hidupku mungkin
dipenuhi dengan tiba-tiba. Saat akan duduk dibangku taman, tangankuditarik kuat
oleh seseorang. Dia juga mengajak lari. “ itu Beschwert!” kataku dalam hati. “
maafkan aku, kita harus pergi sekarang. “ Besch membukakan pintu mobilnya
menyuruhku masuk. “ Kau siap. Pasang sabuk pengamannya.” Secepat kilat mobil
itu menembus tajamnya jalanan ibu kota. Entah mengapa akupun tak berani
bertanya pada Besch. Lidah ini selalu bisu saat berhadapan dengannya. Besch
agak pendiam sehingga tak mengajakku ngobrol panjang lebar apalagi menggodaku
seperti Grenzen. Walau demikian mereka sama-sama menyebalkan.
“ Turun! Kita
sampai. “ Besch berkata dengan dinginnya. Apa dia selalu seperti ini
memperlakukan orang lain. Menculiknya, membawanya pergi dan menyuruh turun
dengan nada tinggi. Dengan hati jengkel perintah Besch kuturuti. Turun dari
mobil dan membanting pintunya. Awalnya tak sengaja, tapi perasaan marah di
kalbu menyumbat memerintah otak melakukannya. Besch agak heran dengan sikapku
tadi. Mungkin baru kali ini dia melihatku jengkel. Walau demikian namanya juga
Besch, tetap saja pria itu cuek dengan kondisi mentalku. Bahkan dia langsung
menarik tanganku paksa dan membawa lari.
Tempat ini tak
begitu asing. Yah, ini apartemen tempo itu ku kunjungi. Pertama kalinya bertemu
dengan Besch. “ Zimmer 483.” Besch membawaku ke kamar ini.
“ Masuklah, tenang
saja kau aman. Aku tak akan menyakitimu. Duduklah dulu, ada yang inginku ambil.”
Mata biru itu pergi begitu saja, tanpa melihat reaksiku. Aku sungguh sangat
dying4 disini, bertemu dengannya serta kembarannya. Hidup seolah
menahan debaran jantung yang semakin menggelora bunyinya.
Langkah kaki pelan
terdengar menuju ke arah kamar 483. Semoga itu Besch. Kacau sekali ia
mengurungku di kamar ini. Kreek…… pintu terbuka. Kami beradu pandang cukup
lama. Pikiran diri semakin berantakan. Mengapa Grenzen juga disini? Dimana
Besch? Apa mereka berdua bersekongkol? Ah, aku sangat dying.
“ Kau! Kenapa kau
disini? “ tanya Grenzen.
“ bicaralah, apa
yang terjadi padamu? Reden… reden…” Grenzen mendekat.
“ ok Haruna. Kalau
begitu aku saja yang bercerita.” Menghembus napas pelan dan menghirupnya
kembali.
“ Kau tahu. Aku
menunggumu lama di taman, mengapa kau malah disini. Apa yang kau lakukan. “
Aku memang ingin
sekali menjawab dan bilang pada Grenzen kalau Besch menculikku. Dan sekarang
dia kabur entah kemana, meninggalkanku di tempat sepi ini. Sekali lagi lidah
selalu kaku untuk berkata padanya.
“ Maafkan aku
Haruna membuatmu menunggu lama.” Besch masuk dengan membawa sesuatu di
tangannya.
4. dying :bisa
diartikan dalam keadaaan kacau
“ Hey Grenzen. Kenapa
kau disini?”
“ oh jadi kau yang
menculik Haruna.”
“ Kau mendahuluiku
Bruder5. “
“ tapi tidak
dengan cara begini. “
Oh Tuhan aku ingin
sekali berteriak pada dua akuma5 ini. Mereka malah bertengkar di
hadapanku. Ini pemandangan yang mematikan. Tak sengaja ku teteskan air mata
kesal di depan mereka.
“ Haruna . . . !!” Teriak mereka bersamaan.
“ Haruna maafkan
kami. “ Bisik Grenzen dengan lembut. Grenzen memang lebih sopan dibanding
Besch.
“ Haruna kami
hanya ingin….” Grenzen tidak melanjutkan kata-katanya karena terhalang Besch
yang ingin berbicara. “ bolehkah kami bercerita? “ aku mengangguk.
“ sejak awal aku
bertemu denganmu. Kau lain Haruna. Entah mengapa aku dan Grenzen sama-sama
tertarik denganmu. Kami tak tahu pasti mengapa kau tidak pernah mengeluarkan
sepatah katapun kepada kami. Saat ditanya atau saat kami memperlakukanmu yang
membuat kau kesal. Kami tak ingin memaksa dikau menceritakan apa yang terjadi
padamu. Dan untuk kali ini saja, kami ingin kau menjawab… R E D E N ….”
Berusaha ku cerba
perkataannya dengan otak kacau. Apalagi yang ingin Besch katakan.
“ Haruna…. Maukah
kau menjadi pacarku? “ APA? Sentak
mataku melotot tajam kearah Keini twin. Tiba-tiba mereka menembakku secara
bersamaan. Permainan yang konyol.
Mereka saling
berpandangan satu sama lain.
“ uum, bukan itu
Haruna, maksud kami.” Grenzen mulai sedikit terlihat panik. Dia gugup untuk
memulai bantahan ucapannya barusan.
“ iya Haruna bukan
itu.” Besch juga mulai melakukan bantahan.
“ kami hanya
ingin, manjadi TEMAN mu… “
Jujur aku terharu
mendengar ucapan kompak kedua saudara itu. Belum pernah ada manusia di dunia
ini yang menawarkan diri menjadi temanku. Mereka memang makhluk aneh.
“ please Haruna
jangan diam begitu. Bicaralah. REDEN!!! “
“ Kau juga butuh
bercerita. Ceritakan saja semuanya terhadap kami. Jawab pertanyaan itu. Reden….”
Mulai kucoba
membuka mulutku dan coba mengeluarkan suara.
“ aku yakin kau
sebenarnya ingin bicara bukan? Apapun yang ingin kau katakan, bicaralah. Kau
akan lebih tenang, di banding kau hanya diam dan mengomel dalam hati. “ Grenzen
menambahkan.
5. bruder : kakak
“ R e d e n ….”
Besch selalu mendesak.
Aku tak ada
pilihan lain, mereka ada benarnya daripada aku selalu menyimpan perasaan lebih
baik di utarakan.
“ aku ingin
menjadi teman kalian.”
“ nah seperti itu,
terima kasih Haruna.”
“ suaramu indah
juga ternyata. Ini pertama kalinya aku mendengar suaramu.” Lagi-lagi Grenzen
menggoda.
“ Kita resmi
berteman, apapun yang terjadi pada kamu ataupun pada kami jangan sungkan untuk
berbicara. Reden selalu ok.”
“ iya.”
“ karena ini hari
bahagia kita harus rayakan. Biar bagaimanapun Haruna adalah orang Indonesia
pertama yang mau menjadi teman kita. Besch siapkan makanan. “
Aku senang
mendapatkan teman-teman aneh seperti mereka. Mereka selalu berusaha agar aku
mau mengungkapkan isi hatiku. Berkata jika aku ingin berkata. Tidak diam untuk
memendam masalah.
Jika kau mempunyai
masalah bicaralah untuk mencoba menyelesaikannya. Jangan diam tak bertindak. Jaga
teman yang tak mudah kau dapatkan. Kau dapat bercerita kepada mereka. Jangan
malu, bicaralah.
R E D E N.
R E D E N.
------ THE END -----
Hayu Putri Kinurung - 3 Februari 2013
Hayu Putri Kinurung - 3 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar