Laman

Translate

Selasa, 02 Juli 2013

SASTRAKU



Cerpen

R E D E N
Oleh : Hayu Putri Kinurung

Hari ini cukup melelahkan, di saat aku berhasil menemukan kunci jawaban untuk soal fisika edisi efek doppler yang selalu saja membuatku gila.  Dengan terus berkutat dalam rumus-rumus fisika membuat kepalaku cukup pening. Kadang kala aku berfikir, pentingkah ilmu itu nanti dalam kehidupan nyataku kelak terus menemani setiap langkah. Sesekali dalam perjalanan pulang ke rumah, ku lewatkan mampir kewarung pinggir jalan untuk sekedar melepas lelah atau membeli minuman. Teriknya matahari membakar seluruh cairan tubuh yang sejak pagi bekerja tanpa henti.
Lambat laun berjalan yang seolah tiada putusnya membuat langkah kaki sedikit ngaco. Bukan arah rumah yang dituju malah kearah sebuah apartemen sederhana di sudut kota ini. Enam tahun di Jakarta belum pernah rasanya aku menemukan apartemen ini sebelumnya. Mungkin aku saja yang terlalu rumahan, sehingga tak tahu tempat-tempat disini.
Entah mengapa rasa tertarik dengan tampilan apartemen ini muncul. Gaya arsitek yang sederhana, namun terkesan modern khas Eropa menambah nilai estetika bangunan ini. Perhatianku tertuju pada spanduk kecil yang terpajang di pintu masuk apartemen. “ Spanduk penawaran apartemen. Berarti benar apartemen ini baru di bangun.“
            ZIMMER 483
            Satu kamar tersisa. Cp: (091) 78473983

Aku mendekat ke papan iklan tersebut. Rasnya cukup janggal membaca kata-kata itu. Menggunakan bahasa asing dan tercampur bahasa nasional. Diriku menangkap  masih ada satu kamar lagi yang tersisa di kamar nomor 483. Merasa semakin tertarik kuberanikan memasuki apartemen itu, pintunya terbuka meja resepsionis itupun kosong.
            “ Halo. Apa ada orang disini?
            “ Permisi. . . . “ sepertinya bangunan ini kosong, sangat sepi. “ Ada saja orang yang tega membiarkan apartemen kosong dengan pintu terbuka seperti ini “. Kata-kata yang  menggerutu dalam hati. “ Pasti pemiliknya ceroboh. “
Untuk memastikan lagi kuketuk dan mengucap salam sekali lagi.
            “ Halo, siapa pemilik apartemen ini? Aku datang untuk melihat-lihat tawaran Anda? Bolehkah? “ tetap tak ada jawaban ataupun tanda-tanda keluarnya manusia. Cukup berat mempertimbangkan apakah harus masuk kedalam melihat-lihat, pergi saja dari sini dan kembali di lain waktu atau menunggu sampai ada orang datang dan memberi izin. Lama menatap meja resepsionis ini sambil berpikir. Kurang lebih lima belas menit berlalu kuputuskan untuk masuk melihat kamar-kamar apartemen. Zimmer1 483.
Bangunan ini terdiri dari dua lantai. Lantai lobi dan lantai atas berisi kamar-kamar. Sepertinya jumlah kamar disini tidak mencapai ratusan. Mengapa ada yang di iklan tadi 483. Mulai kuterlusuri satu persatu jalan di setiap lorongnya. Jeda disetiap kamar cukup sempit bahkan hampir tidak ada. Ternyata nomor memang diawali dari satu namun setelah itu bukan dua, melainkan loncat, sehingga didapatkan nomor 1, 69, 138, 207, 276, 345, 414 dan diakhiri 483. Konsep yang cukup unik dalam sejarah penomoran tempat tinggal. Otak ini agak sulit meenangkap apa maksud dari peloncatan yang setelah dihitung ditambah 68 diawal dan 69 sampai terakhir.
Kakiku berhenti di tepat di kamar terakhir paling pojok sendiri. “ ZIMMER 483 “  sering ku ulangi sebutan itu. Rasanya unik. Suasana atmosfer di sini lain dari yang lain. Perlahan coba ku pegang daun pintunya. Ragu-ragu saat ingin memutar engselnya. Kulepaskan, pegang, lepaskan lagi, dan akhirnya pegang dan kreeek… pintu terbuka.
            “ Ah gelap sekali ruangan ini. Aku jadi merinding. “ tak kusangka sebelumnya ruangan ini gelap. Bulu kudukku merinding seketika. Bukannya mundur seperti kata logikaku, aku bahkan semakin penasaran lagi. Coba kuraba dinding tembok mencari stopkontak untuk menyalakan lampu.
Kliik …  lampu menyala, ruanganpun terang.
 Terkejut ku lihat sepasang mata bundar dalam posisi duduk memegang sebuah gitar. Menurutku itu adalah gitar bass, yah aku berpengetahuan tetang alat musik karena terlalu lama bergaul dengan Steine si drumer populer di sekolah yang sukanya tebar pesona sana-sini. Lelaki itu tak bereaksi apa-apa melihatku. Aku menjadi semakin merinding. Mengapa dia seolah menjadi mayat hidup yang siap untuk melahap. Ah, tampaknya dia juga sama terkejutnya sepertiku. Hanya dia memilih untuk tenang.
            “ Halo. Sedang apa kau disitu? “ dia bersuara cukup berat.
            “ Siapa kau? Kau berdiri di pintu kamar, sedang apa? Hey apa kau mendengarku?” Kata pria itu dengan ekspresi kaku. Sementara yang ditanya membatu. Apa yang harus aku katakan kepadanya? Apa harus berterus terang kepadanya? Ini membingungkan. “ Disini tidak ada orang lain selain kau dan aku. Kau orang pertama yang datang. Selamat datang di zimmer1 483. “ kata pria itu lagi dan sekarang sambil berdiri dan membuka kedua tangannya mengatakan selamat datang kepadaku.
1.        Zimmer : kamar
 
            “ Apa kau ingin memesan tempat ini?” aku semakin bingung untuk menjawab. Pertanyaannya membuat otak semakin lelah. Apa yang harus kulakukan sekarang. Oh Tuhan, mengapa aku menjadi tak berdaya seperti ini? Pria tinggi ini membuat raga tak berkutik. Dari gayanya sepertinya dia asli Eropa.
            “ Mengapa kau diam? Bicaralah. Ah, apa kau tidak mengerti bahasa Indonesia? Aku harus bicara dengan bahasa apa kepaadamu? Inggris, Jepang, Jerman, atau. . . .“ belum sempat dia menyebutkan kata terakhir aku malah lari meninggalakannya. Akupun tak mengerti mengapa tiba-tiba aku lari seperti maling yang kabur karena ketahuan.
            “ Hey!!! Tunggu.”
Tak memperdulikan teriakannya, terus saja aku berlari sampai pintu gerbang.
“ duh lelah. Syukurlah dia tidak mengejar. Hampir saja. “
Pintu gerbang masih terbuka lebar. Walaupun terengah-engah tak masalah yang terpenting siasat kabur ini berjalan dengan lancar, dan tak harus menanggapi pertanyaan gila dari pria tersebut. Ku putuskan berjalan kembali dan kali ini tak usah mampir kesana kemari lagi aku harus pulang.
Baru sebentar berjalan, sesosok manusia asing mengagetkanku di tengah jalan. Tak tahu apa maunya yang jelas orang ini membuatku kembali menahan detak jantung yang terus membesar. “ sepertinya hari ini sial sekali.” Gumanku dalam hati.
“ Maaf nona mengagetkanmu.” Suara bernada pelan itu tiba-tiba di samping kananku. Aku pun memutar badan kearah samping kanan. Melihat siapa yang tadi berbicara denganku. Dan sekali lagi ini terjadi.
Kembali tak dapat mengontrol detak jantungku yang kembali mengeras. “ orang ini? Bukankah dia yang…” ya, aku masih ingat muka orang yang tadi di apartemen. Dia ada disini sekarang. Kenapa secepat ini dia ada disampingku? Bukankah tadi dia tak mengejar. Kuperhatikan penampilannya dari ujung topi sampai ujung sepatu, mirip sekali dengan yang tadi. Pasti satu orang yang sama. Tapi tunggu dulu, bukannya orang yang tadi memakai kemeja lengan panjang yang lengannya disingsingkan. Dan pria ini memakai kaos dan celana jeans yang cukup longgar. Penampilannya pun lain dengan yang tadi. Sepertinya ini orang yang berbeda.
“ Kenapa kau terlihat ketakutan? Apa aku mengganggumu wahai nona manis? “ katanya sambil mengggoda. Keterlaluan sekali dia, berani-beraninya ia menggoda sama orang yang belum ia kenal.
“ Kenapa kau diam saja? Bicaralah. . .
Hem. Sebaiknya kita berkenalan dulu, agar lebih akrab. Namaku Grenzen, lengkapnya Keine Grenzen. Kau siapa?” sambil menjulurkan tangannya ke arahku. Dia memang sepertinya ingin membunuhku. Mana mungkin seorang ‘aku’ diajak berkenalan di tengah jalan seperti ini. Seperti biasa aku tak bereaksi apa-apa.
“ Halo nona! Kau mendengarku? “ dia mulai kebingungan menghadapi diriku. Sungguh tak ada maksud, tapi apalah daya. Tak dapat melakukan apa-apa kecuali diam.
Tin . . . tin . . . tin . . .
Suara motor warna biru produksi Jepang mendekat ke arah kami. Perhatian kami beralih kearah pengendara itu. Sudah cukup mengenali tipe makhluk ini. Helm silvernya pun ia buka. Benar saja dugaanku. Dia memang Tausend Steine, sahabatku. Yo, dia memang super hero. Otomatis perhatian cowok aneh itu telah kelain pihak.
“ Haruna-chan2, sedang apa disini? Masih pakai seragam lagi. Pasti kau habis main-main ya? Huh dasar. Ayo pulang kuantar “.  Begitulah Steine, melontarkan pertanyaan panjang lebar namun tak perlu dijawab. Cukup mendengarkan dan kemudian menuruti apa perintahnya. Tak kuasa menentang perintah Steine. Biar bagaimana pun aku sangat berterima kasih padanya. Berkatnyalah aku dapat terbebas dari makhluk aneh itu.
“ Steine, terima kasih ya. “ kataku padanya ditengah perjalanan kami. Tampaknya dia agak kebingungan terhadap pernyataan tadi.
“ Terima kasih? Terima kasih untuk…? “ jawabnya heran.
“ Untuk hari ini. “ jawabku singkat.
Aku memilih untuk tidak menceritakan apa-apa padanya. Karena memang tak penting juga untuk diceritakan. Steine orangnya tak mudah penasaran dan sering melupakan suatu kejadian. Berteman dengannya menyenangkan. Apa yang tadi di ungkapkan mudah sekali ia lupakan.
Langit kota Jakarta mulai gelap. Motor Kesayangan Steine melaju lebih cepat lagi. Dia tidak ingin kita sampai larut malam. Sepanjang perjalanan tampak lampu kerlap-kerlip jalan menghias sisi gelap kota. Kota malam telah tiba. Para aktivis mulai sibuk mengemasi ladang mereka dan pulang ke istana masing-masing. Pasti kedua orang tuaku juga melakukan hal yang sama. Entah untuk keluarganya atau memang itulah yang terpenting untuk dirinya.
Perlahan tapi pasti diparkirkannyalah motornya itu di pelataran rumahku. Sepertinya dia terlihat cukup senang hari ini. Dengan kondisi yang seperti ini, memungkinkan aku untuk bertanya-tanya terbuka lebar.
“ uum… Steine , bolehkah aku bertanya? “ kataku padanya. Steine membisu mendengar ucapanku.
“ Bertanya apa? Bukankah kau telah bertanya? “ kami berdua tertawa bersama. Benar juga apa yang ia katakan.
“ Steine, aku serius. Aku ingin tanya. “ kataku pura-pura mengambek.
“ hanya pecanda kok. Apaan si? “
“ apa tadi kau melihat seorang pria di sampingku? “
2.Chan: panggilan kepada orang dekat  yang dikenal cukup lama.
Dia tidak langsung menjawab otaknya seolah berpikir keras. Sudah ku duga dia sepertinya telah lupa. Apa memang dia sama sekali tak melihat pria aneh itu. Karena kalau dia lihat pasti dia akan langsung bertanya padaku. Ini nyatanya dia hanya diam.
“ yang mana ya? Aku tak pernah melihatmu bersama pria lain kecuali diriku. Hehe. “ Langsung saja ku tepuk kepalanya dan dia mencoba menghindar. Lagi-lagi jawaban konyol yang ku dapat. Menjadi tak bersemangat melanjutkan pertanyaan. “ kau selalu seperti itu Steine, ya sudah sana pulang.”
“ Jangan marah sayang. Aku hanya pecanda. Ok sampai jumpa besok di sekolah. Jangan lupa tidur. Mengerti.”
“ iya aku mengerti. Sana pulang. ” Dia menaiki motornya dan dengan beberapa detik saja menghilang dari pandangan.
Kembali lagi ke duniaku. Simpulkannya hari ini adalah hari yang paling menyebalkan sekaligus membuatku benar-benar mati penasaran. Sepertinya “ZIMMER 483” begitu melekat dalam ingatanku. Entah apa yang terjadi. Aku semakin dibuntuti rasa ingin tahu, apalagi setelah bertemu dengan pria aneh itu. Belum pernah aku bertemu dengan tipe pria yang satu ini. Besok akan ku pikirkan lagi karena sekarang sudah cukup malam untuk beristirahat.
Sinar matahari membangunkanku lewat celah-celah jendela yang telah terbuka. Sepertinya Mama berusaha membangunkanku tetapi aku tidak ingin bangun. Bagaimana bisa, baru saja  mata ini terpejam dua jam yang lalu. Apartemen dan pria itulah yang membuatku seperti ini. “ Astaga jam enam seperempat! Aku bisa telat! “, langsung saja kamar mandi menjadi tempat pertama mengunjungi rumah. Ini harus cepat.
“ Haruna? Kau mengantuk. Hey ingat ini pelajaran Guru Rack. Dia bisa menggantungmu jikalau mendapatimu tidur dalam kelasnya. “ Suara Mariam berulangkali menyadarkanku dari rasa kantuk berkepanjangan ini. Dia ada benarnya, guru Rack memang terkenal paling dasyat kedisiplinannya. Sekali dia mendapatimu tidur dalam kelasnya atau kau tak mengerjakan tugas tepat waktu serta bila kau ketahuan menyontek, jangan harap kau akan selamat darinya. Keliling lapangan utama 10 kali, push up 50 kali,  sampai-sampai kau di strup selama seminggu untuk kelasnya. Banyak yang bilang dia sudah gila. Tapi mungkin memang ada baiknya, mengingat pentingnya disiplin dalam segala aspek kehidupan.
“ eh eem . . .  selamat pagi murid-muridku!”
“ selamat pagi guru.”
“ sedikit intermezo untuk kalian di pagi ini.” Semua murid terbelaak, tampak berbisik-bisik apa yang akan di katakan guru fisika itu. Dia jarang sekali memberikan informasi apapun.
“ Diam!” semua murid menunduk ketakutan. Teriakan guru Rack memang keterlaluan.
“ Kalian dapat dua teman baru. Keine, masuk. “
Dari balik pintu muncul dua orang pemuda. Fisik tinggi yang kurasa hampir dua meter itu cukup membius anak-anak gadis disini. Kurasa mereka bukan orang Indonesia.
“ Kenalkan diri kalian. “
“ Halo namaku Keine Grenzen. “ apa? Sepertinya  cukup kenal nama itu, ah suaranya juga sepertinya.
“ Halo juga namaku Keine Beschwert.” Perlahan ku mengangkat kepala, turut menyaksikan siapa mereka. Lagi-lagi kaget menyerang, orang itu, orang itu, mereka kembar. Ternyata mereka kembar. Berarti aku kemarin bertemu dengan dua orang sekaligus beda waktu.
“ duduk, kita lanjutkan pelajaran. “ Kepalaku kembali ku tundukan, malu sekali rasanya bila harus bertemu si kembar itu kembali. Ingin aku lari dari kelas ini. Sepertinya dua orang itu mencari tempat duduk.
“ eh, kau ini apa-apaan? Aku duduk disini.”
“ tidak aku yang disini.”
“ tapi aku duluan”
“ Aku”
“ jangan bertengkar. Keine duduk.”
Apa-apaan mereka berdua, tiba-tiba saja ingin duduk disampingku. Seperti tidak ada tempat duduk saja.
“ eh nona, aku Grenzen. Kau mau kan duduk denganku? “
“ tidak. Denganku saja nona.” Sekali lagi aku tak dapat menjawab pertanyaan mereka. Ku ambil tasku dan pindah tempat duduk di samping Steine. Mereka membuatku gila.
Pelajaran guru Rack terasa 2 kali lebih membosankan di banding biasanya. Steine membuat tak nyaman, karena mungkin terbiasa duduk sendiri. Di tambah dua kembar aneh itu, yang tiap menitnya seolah di penuhi obrolan yang tidak penting dan beberapa kali bertengkar. Sepertinya hubungan mereka tidak harmonis. “ ayolah cepat istirahat dan pulang.” Doaku dalam hati.
Teng . . . teng. . . teng. . .
Akhirnya bel istirahat berbunyi, senang sekali rasanya. Waktu melepaskan diri dari kelas yang menyekat dimulai.
“ Run, ke kantin yuk! Lapar. “ kata Mariam mengajak ke kantin. Gadis blasteran Arab- Indonesia ini memang temanku yang terbaik. Sering mengajakku kemana dia pergi, tidak malu jalan berdua denganku. Beda seperti teman yang lainnya. Hanya dia dan Steine lah yang paling baik.
“ maaf Mariam, aku harus ke perpustakaan. Ada buku yang harus ku kembalikan, bila tidak aku dapat denda. “
“ Sayang sekali, baiklah. Baik-baik ya.” Searah lambaian tangan Mariam, aku menuju perpustakaan. Perpus memang tempat yang paling aman untuk sendiri. Setelah mengembalikan buku, sebaiknya membaca-baca dulu disini. Siapa tahu dapat finalis buku yang dapat dipinjam.
“ halo nona manis. “ akhir-akhir ini suara itu tak asing bagiku. Benar saja, pria itu lagi. Dia selalu bisa membuat jantungku berlari. Untuk apa dia disini, apa mengikutiku. Menyebalkan sekali anak ini.
“ bolehkah kita berkenalan, namaku Grenzen. “ dia sudah tiga kali ini memperkenalkan namanya. Apa yang aku lakukan selalu sama. Diam, diam, dan lari.
“ eh tunggu. Aku hanya ingin berteman denganmu. “ sial. Tanganku tertangkap olehnya, jadilah aku tawanannya. “ lepaskan Grenzen.” Kuucapkan dalam hati.
“ kenapa kau diam saja? Kau takut denganku? Aku tak akan menyakitimu. Tenanglah. “Dengan sekuat tenaga ku lepaskan cengkraman Grenzen. Kuat sekali ia, aku tak dapat berkutik. Sekuat tenaga ku lepaskan lewat tenaga dalam sekalipun kabur darinya.
Rasanya hidup ini menjadi tak tenang. Kemanapun aku pergi pria aneh itu selalu hadir. Dengan gaya khasnya yang membuatku tak henti-hentinya berdebar. Aku tak dapat berkutik bila berhadapan dengannya. Mungkinkah ini adalah perasaan yang wajar adanya. Atau memang ada yang aneh pada diriku. Memang sih kalau di pikir-pikir aku keterlaluan. Hanya dengan dua pria itu aku sangat ketakuatan. Hal ini bukan yang pertama terjadi, bila disapa orang yang belum kukenal aku diam dan menghindar. Tapi tak sampai sebedebar ini.
“ Haruna…” Steine tiba-tiba muncul di hadapanku.
“ huh, Steine kau benar-benar mengagetkanku. Aku pikir kau…….” Dengan cepat ku tutup membungkam mulut sendiri. Tidak untuk menceritakannya pada siapapun termasuk Steine tentang tadi.
“ apa?” , sial dia sadar hal itu. “ bukan apa-apa. Baiklah ayo masuk kelas sebentar lagi bel.” Tangan Steine kupaksa mengikutiku.

Pulang sekolah, temui di Taman Belakang
Liebe Du3

Waktu kembali kekelas, sobekan berisi pesan ini telah ada di mejaku.  Dilihat dari bahasa terakhir yang menggunakan bahasa Jerman, penglihatanku terbayang dua sosok bule itu. Apa ini maksudnya? Mengajakku bertemu. Kira-kira ini dari Grenzen atau Beschwert ya? Jadi penasaran.
Gelisah tak tenang bersemayam selalu. “ayo bel-bel.” Ku pandang jarum jam yang jalannya sangat pelan. Yak 13:45, pulang!!! Waktunya ini tuk bertemu dengan pengirim itu.
Kebun belakkang agak sepi. Jarang sekali anak-anak main disitu. Biasanya hanya ramai saat jam istirahat saja. Setelah pelajaran usai, usai pula keramaiannya.
3. liebe du : menyukaimu
Hidupku mungkin dipenuhi dengan tiba-tiba. Saat akan duduk dibangku taman, tangankuditarik kuat oleh seseorang. Dia juga mengajak lari. “ itu Beschwert!” kataku dalam hati. “ maafkan aku, kita harus pergi sekarang. “ Besch membukakan pintu mobilnya menyuruhku masuk. “ Kau siap. Pasang sabuk pengamannya.” Secepat kilat mobil itu menembus tajamnya jalanan ibu kota. Entah mengapa akupun tak berani bertanya pada Besch. Lidah ini selalu bisu saat berhadapan dengannya. Besch agak pendiam sehingga tak mengajakku ngobrol panjang lebar apalagi menggodaku seperti Grenzen. Walau demikian mereka sama-sama menyebalkan.
“ Turun! Kita sampai. “ Besch berkata dengan dinginnya. Apa dia selalu seperti ini memperlakukan orang lain. Menculiknya, membawanya pergi dan menyuruh turun dengan nada tinggi. Dengan hati jengkel perintah Besch kuturuti. Turun dari mobil dan membanting pintunya. Awalnya tak sengaja, tapi perasaan marah di kalbu menyumbat memerintah otak melakukannya. Besch agak heran dengan sikapku tadi. Mungkin baru kali ini dia melihatku jengkel. Walau demikian namanya juga Besch, tetap saja pria itu cuek dengan kondisi mentalku. Bahkan dia langsung menarik tanganku paksa dan membawa lari.
Tempat ini tak begitu asing. Yah, ini apartemen tempo itu ku kunjungi. Pertama kalinya bertemu dengan Besch. “ Zimmer 483.” Besch membawaku ke kamar ini.
“ Masuklah, tenang saja kau aman. Aku tak akan menyakitimu. Duduklah dulu, ada yang inginku ambil.” Mata biru itu pergi begitu saja, tanpa melihat reaksiku. Aku sungguh sangat dying4 disini, bertemu dengannya serta kembarannya. Hidup seolah menahan debaran jantung yang semakin menggelora bunyinya.
Langkah kaki pelan terdengar menuju ke arah kamar 483. Semoga itu Besch. Kacau sekali ia mengurungku di kamar ini. Kreek…… pintu terbuka. Kami beradu pandang cukup lama. Pikiran diri semakin berantakan. Mengapa Grenzen juga disini? Dimana Besch? Apa mereka berdua bersekongkol? Ah, aku sangat dying.
“ Kau! Kenapa kau disini? “ tanya Grenzen.
“ bicaralah, apa yang terjadi padamu? Reden… reden…” Grenzen mendekat.
“ ok Haruna. Kalau begitu aku saja yang bercerita.” Menghembus napas pelan dan menghirupnya kembali.
“ Kau tahu. Aku menunggumu lama di taman, mengapa kau malah disini. Apa yang kau lakukan. “
Aku memang ingin sekali menjawab dan bilang pada Grenzen kalau Besch menculikku. Dan sekarang dia kabur entah kemana, meninggalkanku di tempat sepi ini. Sekali lagi lidah selalu kaku untuk berkata padanya.
“ Maafkan aku Haruna membuatmu menunggu lama.” Besch masuk dengan membawa sesuatu di tangannya.
4. dying :bisa diartikan dalam keadaaan kacau
“ Hey Grenzen. Kenapa kau disini?”
“ oh jadi kau yang menculik Haruna.”
“ Kau mendahuluiku Bruder5. “
“ tapi tidak dengan cara begini. “
Oh Tuhan aku ingin sekali berteriak pada dua akuma5 ini. Mereka malah bertengkar di hadapanku. Ini pemandangan yang mematikan. Tak sengaja ku teteskan air mata kesal di depan mereka.
“ Haruna .  . . !!” Teriak mereka bersamaan.
“ Haruna maafkan kami. “ Bisik Grenzen dengan lembut. Grenzen memang lebih sopan dibanding Besch.
“ Haruna kami hanya ingin….” Grenzen tidak melanjutkan kata-katanya karena terhalang Besch yang ingin berbicara. “ bolehkah kami bercerita? “ aku mengangguk.
“ sejak awal aku bertemu denganmu. Kau lain Haruna. Entah mengapa aku dan Grenzen sama-sama tertarik denganmu. Kami tak tahu pasti mengapa kau tidak pernah mengeluarkan sepatah katapun kepada kami. Saat ditanya atau saat kami memperlakukanmu yang membuat kau kesal. Kami tak ingin memaksa dikau menceritakan apa yang terjadi padamu. Dan untuk kali ini saja, kami ingin kau menjawab…  R E D E N ….”
Berusaha ku cerba perkataannya dengan otak kacau. Apalagi yang ingin Besch katakan.
“ Haruna…. Maukah kau menjadi pacarku? “  APA? Sentak mataku melotot tajam kearah Keini twin. Tiba-tiba mereka menembakku secara bersamaan. Permainan yang konyol.
Mereka saling berpandangan satu sama lain.
“ uum, bukan itu Haruna, maksud kami.” Grenzen mulai sedikit terlihat panik. Dia gugup untuk memulai bantahan ucapannya barusan.
“ iya Haruna bukan itu.” Besch juga mulai melakukan bantahan.
“ kami hanya ingin, manjadi TEMAN mu… “
Jujur aku terharu mendengar ucapan kompak kedua saudara itu. Belum pernah ada manusia di dunia ini yang menawarkan diri menjadi temanku. Mereka memang makhluk aneh.
“ please Haruna jangan diam begitu. Bicaralah. REDEN!!! “
“ Kau juga butuh bercerita. Ceritakan saja semuanya terhadap kami. Jawab pertanyaan itu. Reden….”
Mulai kucoba membuka mulutku dan coba mengeluarkan suara.
“ aku yakin kau sebenarnya ingin bicara bukan? Apapun yang ingin kau katakan, bicaralah. Kau akan lebih tenang, di banding kau hanya diam dan mengomel dalam hati. “ Grenzen menambahkan.
5. bruder : kakak

“ R e d e n ….” Besch selalu mendesak.
Aku tak ada pilihan lain, mereka ada benarnya daripada aku selalu menyimpan perasaan lebih baik di utarakan.
“ aku ingin menjadi teman kalian.”
“ nah seperti itu, terima kasih Haruna.”
“ suaramu indah juga ternyata. Ini pertama kalinya aku mendengar suaramu.” Lagi-lagi Grenzen menggoda.
“ Kita resmi berteman, apapun yang terjadi pada kamu ataupun pada kami jangan sungkan untuk berbicara. Reden selalu ok.”
“ iya.”
“ karena ini hari bahagia kita harus rayakan. Biar bagaimanapun Haruna adalah orang Indonesia pertama yang mau menjadi teman kita. Besch siapkan makanan. “
Aku senang mendapatkan teman-teman aneh seperti mereka. Mereka selalu berusaha agar aku mau mengungkapkan isi hatiku. Berkata jika aku ingin berkata. Tidak diam untuk memendam masalah.
Jika kau mempunyai masalah bicaralah untuk mencoba menyelesaikannya. Jangan diam tak bertindak. Jaga teman yang tak mudah kau dapatkan. Kau dapat bercerita kepada mereka. Jangan malu, bicaralah. 
R E D E N.









------   THE END -----


Hayu Putri Kinurung - 3 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar